BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Eutanasia merupakan upaya
untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk menghentikan penderitaan
yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di jaman modern
ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose
maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia
menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat
umum. Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya
eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan
yang dianggap terlalu menyiksa.
Di
beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan,
sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur
eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur
perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku
eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan eutanasia, namun
masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan eutanasia, baik yang
diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye anti eutanasiapun
banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek
eutanasia memang masih kerap terjadi.
Dalam makalah ini, akan
dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai pengertiannya, sejarahnya,
pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan beberapa Negara dan
beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait eutanasia.
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:
a. Pembaca
mengetahui pengertian dari eutanasia?
b. Pembaca
mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?
c. Pembaca
mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?
d. Pembaca
mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?
e. Pembaca
mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di dunia?
f. Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap
praktek eutanasia?
1.3 Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini terdiri atas lima bab yaitu :
BAB I :
Pendahuluan berisikan tentang latar
belakang penulisan makalah,
tujuan penulisan
makalah, sistematika penulisan, dan metoda
penulisan
makalah.
BAB II : Tinjauan
Teori Aspek legal terkait Euthanasia berisikan
tentang pengertian Euthanasia; sejarah
Euthanasia; klasifikasi
Euthanasia; Pandangan Euthanasia menurut para ahli, agama;
Aspek
hukum Euthanasia di Indonesia dan hukum Euthanasia di
berbagai belahan negara.
BAB III : Kasus terkait aspek legal Euthanasia.
BAB IV : Pembahasan terkait kasus aspek legal Euthanasia.
BAB V :
Penutup berisikan tentang simpulan dan saran.
1.4
Metoda Penulisan Makalah
Metode yang digunakan
dalam penulisan makalah ini adalah metoda studi kepustakaan.
BAB II
TINJAUAN
TEORI
2.1
Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang
berati baik, dan Thanatos yaitu mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup
dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu, Euthanasia
sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Hal ini menjadi unsur utama hak asasi
manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian
pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang
kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman
mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini
rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia
kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum
di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju
di pihak lain.
2.2
Sejarah Euthanasia
Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada
tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien
yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama,
pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan
beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan
eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan".
Pada
tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam
suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun
yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya
yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi
T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap
anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Setelah
dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia,
terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak
sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia).
Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap
bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu bangsa, sehingga
secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada semua orang
cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait
dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut
sedikit uraiannya:
a. Di India pernah dipraktekkan suatu
kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul
hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
c. Uruguay
mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku
sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek
eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902
memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di
semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau
membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
f. Satu-satunya
Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah
Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang
menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan
eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat
digolongkan eutanasia pasif.
2.3 Klasifikasi
A. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
- Voluntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.
Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian
segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak
menunjang.
- Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
sepertinpihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian
segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak
menunjang.
- Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
sepertinpihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
- Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang
pada keadaan tertentu dan
alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
-
Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan
meringankan
penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk
mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda
pengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.
penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk
mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda
pengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.
B.
Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum
kedokteran dan staf
pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian
Pikiran Rakyat
mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:
- Euthanasia
aktif, yaitu tindakan secara sengaja
yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan
zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
- Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara
sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup
pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita
pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan
pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia
dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
- Autoeuthanasia,
yaitu seorang pasien
menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia
mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
C. Eutanasia ditinjau dari
sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Eutanasia agresif, disebut
juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang
pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh
senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
- Eutanasia non agresif,
kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
Eutanasia pasif dapat
juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah
dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika
kepada penderita pneumonia
berat, meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin
yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
2.4
Pendapat Ahli
- Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
- Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
2.5 Pandangan Agama
A. Menurut Ajaran Agama Islam
Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal, baik, atau sehat, dan ‘thanatos’ yang artinya mati. Secara harfiah istilah ini berkonotasi positif, yaitu mati secara baik (dan mudah), tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya euthanasia merupakan dambaan dan harapan setiap setiap pemeluk aliran kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut dengan mati yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia mengakhiri kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk mengakhiri penderitaannya.
Dalam agama Islam atau hukum
apapun, masalah kematian adalah suatu keniscayaan, hanyalah Tuhan yang punya
kewenangan terhadap hidup makhluknya.
Dengan demikian, manusia tidak diberi hak atau wewenang dalam mengakhiri
hidup seseorang.
Islam sangat menghargai jiwa. Banyak ayat al Quran maupun hadist nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan melenyapkan hidup seseorang. Manusia dilarang memperlukakan jiwa manusia dengan tidak hormat. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan aturan pidana Islam.
Secara normative, memudahkan proses kematian secara aktif ( Euthanasia Aktif ) tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Dengan demikian dokter telah melakukan tindakan pembunuhan, baik dengan penghentian pengobatan, pemberian racun yang keras, penyengatan listrik, dan lain-lain. Dalam segi agama, perbuatan tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan meskipun factor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud meringankan rasa sakitnya. Selain itu, euthanasia aktif maupun auto-euthanasia tidak diperbolehkan, karena alasan sebagai berikut:
1. Dari
pihak pasien yang meminta kepada dokter karena tidak tahan lagi menderita
sakit, karena jenis penyakit ini teralu kronis/ gawat dan telah lama dialami,
maka ia meminta kepada dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain
karena pasien sadar bahwa beban pengobatannya sangat besar bagi keluarganya.
Atau pasien menyadari bahwa ajalnya sudah sangat dekat, harapan sembuhnya kecil,
sehingga pasien meminta dirinya dilakukan euthanasia. Hal ini tidak boleh
dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri dalam agama apapun
adalah terlarang.
2. Dari
pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien, apalagi jika
pasien tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.
3. Kemungkinan
lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama dengan dokter untuk
mempercepat kematian pasien karena suatu factor amoral, jelas ini merupakan
suatu pembunuhan.
Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunah, wajib, mubah, atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun apabila pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara meminum obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan lain sebagainya dalam waktu yang relative lama tetapi penyakitnya tidak mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu tidak wajib dilakukan, dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses pengobatannya.
Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli dengan unsure membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada tindakan aktif dari dokter, tetapi, dokter hanya meninggalkan sesuatu yang bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh agama bila pihak keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya.
Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma misalnya, hal tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien sudah seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah rusak. Membiarkan pasien dalam keadaan demikian hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih bisa mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya akan membuat keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi seperti ini,medis diperbolehkan melepas seluruh instrument yang dipasang pada seseorang meskipun jantungnya masih berdenyut, karena berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.
B. Dalam ajaran
gereja Katolik Roma
Sejak
pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan
sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan
mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi
saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama
menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal
5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi
tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia") yang menguraikan
pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas
sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana
yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan
semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium
Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling
mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia
dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus
Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas
kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati
mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak
membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium
Vitae, nomor 66).
C. Dalam
ajaran Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu
terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan
ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin
dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari
"karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu
suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama
dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti
kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu
perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan
tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh
karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan
suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik
dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan
umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan
masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh
jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana
seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri
17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun
itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke
neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam
kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
C. Dalam ajaran Agama Buddha
Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
D. Dalam ajaran gereja
Ortodoks
Pada
ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka
dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan
pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan
suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang
buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan.
Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan
dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
F. Dalam ajaran
Agama Yahudi
Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
G. Dalam ajaran
Protestan
Gereja
Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut
misalnya :
·
Gereja
Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa
:
" penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
" penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
·
Gereja
Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus
dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian
terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
2.6 Aspek Hukum Euthanasia di
Indonesia
Di Indonesia belum ada
peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang euthanasia.namun
demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu:pasal 304,pasal
306,dan pasal 344 KUHP.
Pasal
304 KUHP
Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan
kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku
atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu rupiah.
Catatan.
Isi pasal di atas mirip dengan
tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih tinggi apabila orang
yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam pasal 306
KUHP ayat 2.
Pasal 304 dan pasal 306 KUHP
merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP tentang meninggalkan orang
yang perlu ditolong.
Pasal
306 KUHP
Kalau salah satu perbuatan yang
diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang mati,sitersalah itu dihukum
penjarapaling lama 9 tahun.
Pasal
344 KUHP
Barang siapa menghilangkan nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri,yang disebutnya dengannya dengan
nyata dan bersungguh sungguh,dihukum penjara paling lama 12 tahun.
Catatan
Pasal 344 KUHP ini isinya mirip
dengan tindkan euthanasia aktif,karena ada tindakan menghilangkan nyawa orang
lain.
Dalam kaitannya baik dengan
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan terdapat ketentuan dalam pasal
pasal berikut.
Pasal
388 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja nyawa
orang lain,dihukum karena makar mati,dengan penjara paling lama 15 tahun”.
Pasal
340 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja dan
direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,dihukum,karena
pembunuhan yang direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara paling lama 20 tahun
Pasal
359 KUHP
Barang siapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum penjara paling lama 5 tahun
atau kurungan paling lama 1 tahun
Pasal
345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja
mengasut orang lain untuk bunuh diri,membantunya dalam perbuatan itu,atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,dihukum penjara selama lamanya 4
tahun. Kepustakaan
menyebutkan adanya 2 pendapat mengenai hubungan dokter dengan pasien dalam
kaitannya dengan permasalahan mengenai nyawa.pendapat pertama yang di dukung
oleh Van Hamel Noyon Langemayer, Simon, Pompe, dan Hazewinkel Suringa, yang
menyatakan bahwa :
Niat
yang secara sadar tanpa tujuan tertentu untuk membunuh atau mengakibatkan
derita bukan merupakan tujuan dari tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh
dokter.
Pendapat
kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan Fonsdekker yang mengatakan
bahwa oleh karenanya maka justru
persetujuan dari orang dirawat yang dipakai sebagai ukuran apakah suatu
perbuatan itu bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua bertujuan pasien
merupakan satu satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang dokter
(Koeswadjie,1996)
Dari
apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa KUHP,tidak dapat
sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-kesehatan.
Baik
dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern
keluarga.apabila keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter
harus mempunyai bukti berupa sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda
tangan dan saksi dari pihak keluarga apabila keluarga betul-betul menghendaki
tindakan itu misalnya karena alasan ekonomi dan lain lain.
Namun demikian apabila hal itu dilakukan dengan alasan daya paksa,maka hal tersebut dapat dimanfaatkan berdasarkan pasal48 KUHP, yang berbunyi:barang siapa yang melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh dihukum.saat ini kasus euthanasia masih merupakan suatu dilemma, karena di Indonesia hak untuk mati masih belum ada.
2.7 Hukum Eutanasia
di berbagai belahan Negara
A. Belanda
Pada
tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April
2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang
melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan
tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi
perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan
kriminal.
Sebuah
karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia"
dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November
1998, halaman melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
B. Belgia
Parlemen
Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya
telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia diNegara ini, namun
mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga
timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi
kematian".
Belgia
kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan
Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai
sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut
menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis
adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
C. Australia
Negara
bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia
dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi
ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU
yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak
pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi
bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus
ditarik kembali.
D. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminaln ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminaln ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum
jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin
saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan
Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun
1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
euthanasia.
E. Republik Ceko
Di
Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut,
Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam
rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6
tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum Negara
tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.
F. Cina
Di
China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang
Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang
melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat
(Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003,
Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam
kesakitan.
BAB III
ANALISA SITUASI
3.1 Kasus terkait 1
Pada suatu publikasi besar – besaran, persidangan yang digelar di Massachusetts (Commonwealth v. Anne Capute [1982]), seorang perawat praktik berlisensi disebuah rumah sakit mendapat tuduhan pembunuhan. Jaksa penuntut menuduh Perawat Capute berniat membunuh pasien ketika ia memberikan 195mg morfin sesuai instruksi dokter untuk menghilangkan nyeri pasien pada satu kali pemberian dalam periode 8 jam. Jaksa penuntut berpendapat bahwa jumlah morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian pasien dan bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.
Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita penyakit terminal yang menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, jika terbukti bersalah, Capute menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin untuk membantu pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.
Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni bahwa kematian pasien disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan bebas dari tuntutan pembunuhan.
3.2 Kasus terkait 2
Pada
1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters
mengesahkan euthanasia atau yang disebut
juga bunuh diri- dibantu (assisted-suicide). Namun, penetapan hukum pengadilan
mengenai hal ini masih ditunda. Oregon voters berpendapat bahwa dokter atau
tenaga medis lain berhak mencari alternative lain untuk meringankan rasa sakit
bagi pasien yang sakit parah dan
memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa pasien berhak
menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan tindakan
euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya.
Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan ‘bantuan bunuh diri’ (euthanasia) lebih dari 130 pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk para juri yang berhasil membebaskan dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr. Kevorkian memperoleh pengakuan legal dan etik.
Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan pengakuan bahwa ia memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan menunjukan video rekaman bagaimana ia melakukannnya. Pasien tersebut yang mengidap penyakit Lou Gehrig meminta Dr. Kevorkian untuk membunuhnya. Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan menandatanganinya. Dr. Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia waktu itu hanyalah ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada April 1999 pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua sehingga dia dijatuhi hukuman dua puluh lima tahun penjara.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Pandangan terhadap kasus 1
Penggunaan
morfin pada pasien menjelang
kematiannya
dalam mengatasi nyeri adalah hal ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang
baik adalah menghilangkan rasa penderitaan nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat
kematian. Tujuan perawat ialah meredakan penderitaan pasien, bukan membunuh
pasien. Efek yang merugikan, yang kemungkinan mempercepat kematian pasien adalah bahaya yang muncul yang
terkandung pada penggunaan
obat. Kematian
tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang dapat terjadi. Keta efek yang baik dan yang
berbahaya timbul secara simultan. Risiko mempercepat kematian muncul pada saat
yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas dari nyeri.
Meringankan
penderitaan pasien yang menjelang kematian sangatlah penting. Tugas utama para
pemberi layanan kesehatan adalah membebaskan pasien dari rasa sakit dan
penderitaan ketika usaha untuk menyembuhkan sudah diupayakan secara maksimal
tugas ini merupakan alasan yang cukup untuk menggunakan morfin dengan dosis
berapapun untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Walau itu adalah
menghilangkan nyeri pada pasien dengan penyakit terminal bahkan ketika hal
tersebut berisiko memperpendek hidup mereka.
Apa
yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas, walau apa yang
dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan penderitaan pasien
untuk menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya. Memberikan perawatan
secara moral memang diijinkan,namun pertimbangan atas penderitaan yang dialami
pasien lebih kepada rasa kemanusiaan
serta tugasnya dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini membantu
dalam menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk
memberikan
penghilang rasa
nyeri dengan dosis
tinggi untuk mengatasi rasa nyeri pada pasien yang menderita penyakit terminal,
bahkan dalam jumlah yang dapat menyebabkan pasien meninggal lebih cepat.
Euthanasia
masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan hukumnya. Sebagian besar
dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat penghilang rasa nyeri dosis
tinggi terhadap pasien yang sedang mengahadapi terminal dengan kondisi yang
sangat menyakitkan. Keengganan ini terjadi akibat rasa takut terhadap hukum
karena melanggar kode etik yang berlaku serta gejolak psikologi yang terjadi
dalam diri seorang perawat.
4.2
Pandangan
terhadap kasus 2
Banyak kritik yang menentang euthanasia. Walaupun banyak perawat atau tenaga medis lain yang berpendapat bahwa keluarga pasien koma atau terminal boleh mencabut respirator, makanan, atau alat medis lainnya, namun mereka menentang euthanasia aktif. Banyak yang berpendapat bahwa euthanasia dapat membunuh pasien, bahwa euthanasia dilakukan tanpa keinginan pasien atau sepengetahuan pasien. Pasien terminal atau koma, tidak punya kemampuan mengungkapakan keinginannya. Keluarga, dokter, maupun perawat tidak mengetahui apakah sebenarnya pasien terminal tersebut menginginkan kematian dan mereka tidak punya hak untuk memutuskan hidup mati pasien tersebut.
Banyak perawat professional dan organisasi kesehatan lainnya yang menentang euthanasia. ANA (American Nursing Association) telah menyatakan penentangannya ini kepada public. Begitu pula dengan AMA ( American Medical Association). Menurut mereka, euthanasia membawa lebih banyak keburukan daripasa kebaikan. Euthanasia bertentangan dengan peran perawat.
BAB
IV
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Eutanasia berasal dari bahasa
Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti
kematian, sehingga istilah eutanasia secara singkat dapat diartikan sebagai
‘kematian yang baik’.
b. Terdapat dua prinsip utama dalam
standar prosedur euthanasia, yaitu secara fisik (misalnya dengan pemutusan
leher, perusakan otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi (dengan
teknik inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)
c.
Eutanasia
memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa katagori tertentu.
d. Pada
beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah satu tindakan medis,
di beberapa Negara yang lain, euthanasia masih digolongkan sebagai tindakan
criminal, termasuk di Indonesia.
e. Pada umumnya agama menolak
dilakukannya euthanasia, karena dianggap mendahului kehendak Tuhan, sebab, hidup dan
mati ada di tangan Tuhan.
5.2
Saran
Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada niatan baik untuk membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana.
DAFTAR
PUSTAKA
Helm.
Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum. Jakarta: EGC.
Potter,
Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
William,
Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5th Ed. USA:
Springhouse Corporation.
Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2. Jakarta: Departemen Agama RI.
www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.
http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killing-yang-terjadi-di-dunia/