Minggu, 02 Juni 2013

Euthanasia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
           
Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa.
            Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye anti eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek eutanasia memang masih kerap terjadi.
            Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait eutanasia.

1.2  Tujuan
            Adapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:
a. Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia?
b. Pembaca mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?
c. Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?
d. Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?
e. Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di dunia?
f.  Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap praktek eutanasia?

1.3  Sistematika Penulisan Makalah

  Makalah ini terdiri atas lima bab yaitu :
BAB I              : Pendahuluan berisikan tentang latar belakang penulisan makalah,
                          tujuan   penulisan makalah, sistematika penulisan, dan metoda
                          penulisan makalah.
BAB II             : Tinjauan Teori Aspek legal terkait Euthanasia berisikan     
                          tentang pengertian Euthanasia; sejarah Euthanasia; klasifikasi
                          Euthanasia; Pandangan Euthanasia menurut para ahli, agama;
                          Aspek hukum Euthanasia di Indonesia dan hukum Euthanasia di
                          berbagai belahan negara.
BAB III            : Kasus terkait aspek legal Euthanasia.
BAB IV           : Pembahasan terkait kasus aspek legal Euthanasia.
BAB V            : Penutup berisikan tentang simpulan dan saran.

1.4  Metoda Penulisan Makalah
 Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metoda studi kepustakaan.


BAB II
TINJAUAN TEORI

 2.1         Pengertian
      

        Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Hal ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.


2.2       Sejarah Euthanasia

Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya: 
a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

2.3      Klasifikasi

               A.   Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
 
                     - Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.
                    Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian      
                    segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak 
                    menunjang. 
                    - Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain     
                      sepertinpihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
                    - Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan tertentu dan 
                      alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
                    - Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan meringankan 
                      penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk  
                      mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda 
                      pengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.

             B.  Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf
                  pengajar   pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat 
                  mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi: 

             - Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga  kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.

              - Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
         - Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).

C.        Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
              
            Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
 
-   Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

- Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

    Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.


2.4 Pendapat Ahli
  • Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
  • Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

2.5  Pandangan Agama

       A. Menurut Ajaran Agama Islam

 Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal, baik, atau sehat, dan ‘thanatos’ yang artinya mati. Secara harfiah istilah ini berkonotasi positif, yaitu mati secara baik (dan mudah), tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya euthanasia merupakan dambaan dan harapan setiap setiap pemeluk aliran kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut dengan mati yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia mengakhiri kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk mengakhiri penderitaannya.

    Dalam agama Islam atau hukum apapun, masalah kematian adalah suatu keniscayaan, hanyalah Tuhan yang punya kewenangan terhadap hidup makhluknya.  Dengan demikian, manusia tidak diberi hak atau wewenang dalam mengakhiri hidup seseorang.

   Islam sangat menghargai jiwa. Banyak ayat al Quran maupun hadist nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan melenyapkan hidup seseorang. Manusia dilarang memperlukakan jiwa manusia dengan tidak hormat. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan  sesuai dengan aturan pidana Islam.

    Secara normative, memudahkan proses kematian secara aktif ( Euthanasia Aktif ) tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Dengan demikian dokter telah melakukan tindakan pembunuhan, baik dengan penghentian pengobatan, pemberian racun yang keras, penyengatan listrik, dan lain-lain. Dalam segi agama, perbuatan tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan meskipun factor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud meringankan rasa sakitnya.  Selain itu, euthanasia aktif maupun auto-euthanasia tidak diperbolehkan, karena alasan sebagai berikut:

1.    Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter karena tidak tahan lagi menderita sakit, karena jenis penyakit ini teralu kronis/ gawat dan telah lama dialami, maka ia meminta kepada dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain karena pasien sadar bahwa beban pengobatannya sangat besar bagi keluarganya. Atau pasien menyadari  bahwa ajalnya  sudah sangat dekat, harapan sembuhnya kecil, sehingga pasien meminta dirinya dilakukan euthanasia. Hal ini tidak boleh dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri dalam agama apapun adalah terlarang.

2.    Dari pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien, apalagi jika pasien tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.

3.    Kemungkinan lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien karena suatu factor amoral, jelas ini merupakan suatu pembunuhan.

    Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama menyatakan  bahwa hukum berobat menjadi sunah, wajib, mubah, atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun apabila pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara meminum obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan lain sebagainya dalam waktu yang relative lama tetapi penyakitnya tidak mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu tidak wajib dilakukan, dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses pengobatannya.

    Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli dengan unsure membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada tindakan aktif dari dokter, tetapi, dokter hanya meninggalkan sesuatu yang bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh agama bila pihak keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya.

     Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma misalnya, hal tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien sudah seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah rusak. Membiarkan pasien dalam keadaan demikian hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan  alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih bisa mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya akan membuat keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi seperti ini,medis diperbolehkan melepas seluruh instrument yang dipasang pada seseorang meskipun jantungnya masih berdenyut, karena berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.

B. Dalam ajaran gereja Katolik Roma

    Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).

C. Dalam ajaran Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

           C.           Dalam ajaran Agama Buddha

Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

          D.      Dalam ajaran gereja Ortodoks 
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.

F. Dalam ajaran Agama Yahudi

  Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
   Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.

G. Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
         ·   Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : 
            " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal  
              membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga  
              kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung 
              kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".

         ·  Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
           perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus
           dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
           tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian 
           terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

2.6    Aspek Hukum Euthanasia di Indonesia
     Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan pasal 344 KUHP.

Pasal 304 KUHP
  Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu rupiah.
Catatan.
        Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2.
       Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.

Pasal 306 KUHP
    Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.

Pasal 344 KUHP
    Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,yang disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh sungguh,dihukum penjara paling lama 12 tahun.
Catatan
      Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindkan euthanasia aktif,karena ada tindakan menghilangkan nyawa orang lain.
       Dalam kaitannya baik dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan terdapat ketentuan dalam pasal pasal berikut.

Pasal 388 KUHP
    “Barang siapa dengan sengaja nyawa orang lain,dihukum karena makar mati,dengan penjara paling lama 15 tahun”.

Pasal 340 KUHP
    Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,dihukum,karena pembunuhan yang direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun

Pasal 359 KUHP
     Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun

Pasal 345 KUHP
     Barang siapa dengan sengaja mengasut orang lain untuk bunuh diri,membantunya dalam perbuatan itu,atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,dihukum penjara selama lamanya 4 tahun. Kepustakaan menyebutkan adanya 2 pendapat mengenai hubungan dokter dengan pasien dalam kaitannya dengan permasalahan mengenai nyawa.pendapat pertama yang di dukung oleh Van Hamel Noyon Langemayer, Simon, Pompe, dan Hazewinkel Suringa, yang menyatakan bahwa :

    Niat yang secara sadar tanpa tujuan tertentu untuk membunuh atau mengakibatkan derita bukan merupakan tujuan dari tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter.

   Pendapat kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan Fonsdekker yang mengatakan bahwa  oleh karenanya maka justru persetujuan dari orang dirawat yang dipakai sebagai ukuran apakah suatu perbuatan itu bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua bertujuan pasien merupakan satu satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang dokter (Koeswadjie,1996)

  Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa KUHP,tidak dapat sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-kesehatan.

    Baik dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern keluarga.apabila keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter harus mempunyai bukti berupa sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda tangan dan saksi dari pihak keluarga apabila keluarga betul-betul menghendaki tindakan itu misalnya karena alasan ekonomi dan lain lain.

   Pada pasal 344 pengakhiran kehidupan harus atas permintaan penderita.apabila tindakan itu dilakukan atas permintaan orang lain, misalnya keluarga, maka tindakan keluarga tersebut maka sama dengan pembunuhan.
    
   Namun demikian apabila hal itu dilakukan dengan alasan daya paksa,maka hal tersebut dapat dimanfaatkan berdasarkan pasal48 KUHP, yang berbunyi:barang siapa yang melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh dihukum.saat ini kasus euthanasia masih merupakan suatu dilemma, karena di Indonesia hak untuk mati masih belum ada.

2.7 Hukum Eutanasia di berbagai belahan Negara

A. Belanda
     Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
    
     Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
     
     Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

     Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

B. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia diNegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya

C. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

D. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminaln ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
        
         Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia. 
E. Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum Negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

F. Cina
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.


BAB III
ANALISA SITUASI
3.1           Kasus terkait 1

Pada suatu publikasi besar – besaran, persidangan yang digelar di Massachusetts (Commonwealth v. Anne Capute [1982]), seorang perawat praktik berlisensi disebuah rumah sakit mendapat tuduhan pembunuhan. Jaksa penuntut menuduh Perawat Capute berniat membunuh pasien ketika ia memberikan 195mg morfin sesuai instruksi dokter untuk menghilangkan nyeri pasien pada satu kali pemberian dalam periode 8 jam. Jaksa penuntut berpendapat bahwa jumlah morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian pasien dan bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.

Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita penyakit terminal yang menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, jika terbukti bersalah, Capute menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin untuk membantu pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.

Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni bahwa kematian pasien disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan bebas dari tuntutan pembunuhan. 
3.2           Kasus terkait 2
Pada 1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters mengesahkan  euthanasia atau yang disebut juga bunuh diri- dibantu (assisted-suicide). Namun, penetapan hukum pengadilan mengenai hal ini masih ditunda. Oregon voters berpendapat bahwa dokter atau tenaga medis lain berhak mencari alternative lain untuk meringankan rasa sakit bagi pasien yang sakit parah  dan memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa pasien berhak menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan tindakan euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya. 

Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan ‘bantuan bunuh diri’ (euthanasia) lebih dari 130 pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk para juri yang berhasil membebaskan dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr. Kevorkian  memperoleh pengakuan legal dan etik.

Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan pengakuan bahwa ia memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan menunjukan video rekaman bagaimana ia melakukannnya. Pasien tersebut yang mengidap penyakit Lou Gehrig meminta Dr. Kevorkian untuk membunuhnya. Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan menandatanganinya.  Dr. Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia waktu itu hanyalah ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada April 1999 pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua sehingga dia dijatuhi hukuman dua puluh lima tahun penjara.



BAB IV
PEMBAHASAN
 4.1        Pandangan terhadap kasus 1

Penggunaan morfin pada pasien menjelang kematiannya dalam mengatasi nyeri adalah hal ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang baik adalah menghilangkan rasa penderitaan nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat kematian. Tujuan perawat ialah meredakan penderitaan pasien, bukan membunuh pasien. Efek yang merugikan, yang kemungkinan mempercepat kematian pasien adalah bahaya yang muncul yang terkandung pada penggunaan obat. Kematian tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang dapat terjadi. Keta efek yang baik dan yang berbahaya timbul secara simultan. Risiko mempercepat kematian muncul pada saat yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas dari nyeri.

Meringankan penderitaan pasien yang menjelang kematian sangatlah penting. Tugas utama para pemberi layanan kesehatan adalah membebaskan pasien dari rasa sakit dan penderitaan ketika usaha untuk menyembuhkan sudah diupayakan secara maksimal tugas ini merupakan alasan yang cukup untuk menggunakan morfin dengan dosis berapapun untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Walau itu adalah menghilangkan nyeri pada pasien dengan penyakit terminal bahkan ketika hal tersebut berisiko memperpendek hidup mereka.

Apa yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas, walau apa yang dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan penderitaan pasien untuk menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya. Memberikan perawatan secara moral memang diijinkan,namun pertimbangan atas penderitaan yang dialami pasien  lebih kepada rasa kemanusiaan serta tugasnya dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini membantu dalam menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk memberikan penghilang rasa nyeri dengan dosis tinggi untuk mengatasi rasa nyeri pada pasien yang menderita penyakit terminal, bahkan dalam jumlah yang dapat menyebabkan pasien meninggal lebih cepat.

Euthanasia masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan hukumnya. Sebagian besar dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat penghilang rasa nyeri dosis tinggi terhadap pasien yang sedang mengahadapi terminal dengan kondisi yang sangat menyakitkan. Keengganan ini terjadi akibat rasa takut terhadap hukum karena melanggar kode etik yang berlaku serta gejolak psikologi yang terjadi dalam diri seorang perawat.
 4.2        Pandangan terhadap kasus 2

Banyak kritik yang menentang euthanasia. Walaupun banyak perawat atau tenaga medis lain yang berpendapat bahwa keluarga pasien koma atau terminal boleh mencabut respirator, makanan, atau alat medis lainnya, namun mereka menentang euthanasia aktif.  Banyak yang berpendapat bahwa euthanasia dapat membunuh pasien, bahwa euthanasia dilakukan tanpa keinginan pasien atau sepengetahuan pasien. Pasien terminal atau koma, tidak punya kemampuan mengungkapakan keinginannya. Keluarga, dokter, maupun perawat tidak mengetahui apakah sebenarnya pasien terminal tersebut menginginkan kematian dan mereka tidak punya hak untuk memutuskan hidup mati pasien tersebut.

Banyak perawat professional dan organisasi kesehatan lainnya yang menentang euthanasia. ANA (American Nursing Association) telah menyatakan penentangannya ini kepada public.  Begitu pula dengan AMA ( American Medical Association). Menurut mereka, euthanasia membawa lebih banyak keburukan daripasa kebaikan. Euthanasia bertentangan dengan peran perawat.



BAB IV
PENUTUP
 5.1        Kesimpulan

   Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 
a. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti kematian, sehingga istilah eutanasia secara singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik’.
b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur euthanasia, yaitu secara fisik (misalnya dengan pemutusan leher, perusakan otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi (dengan teknik inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)
c.  Eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa katagori tertentu.
d. Pada beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah satu tindakan medis, di beberapa Negara yang lain, euthanasia masih digolongkan sebagai tindakan criminal, termasuk di Indonesia.
e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya euthanasia, karena dianggap mendahului kehendak Tuhan, sebab, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.

 5.2           Saran

    Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada niatan baik untuk membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana. 


DAFTAR PUSTAKA

Helm. Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum. Jakarta: EGC.
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5th Ed. USA: Springhouse Corporation.

Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2. Jakarta: Departemen Agama RI.

www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.

http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killing-yang-terjadi-di-dunia/